Senin, 05 Mei 2014

ROKOKKU HIDUPKU



            Semua canda teman-temanku terdengar bersautan di dalam kelas yang besar dan ber-AC  ini.Aku duduk di kelilingi teman–teman yang berpakaian putih biru,aku begitu senang bisa bercanda gurau dengan mereka.
            “kuk kuk keruuuuuk,aku terhentak kaget mendengar suara ayam berkokok tersebut, aku berlari keluar dari rumah kardusku,ternyata langit telah memerah dan para pemulung sudah beraktifitas seperti biasa.Aku bergegas berlari mengambil air bersih untuk aku membersihkan diri,aku harus berjalan sejauh 2 KM untuk bisa merasakan air bersih dan itu aku lakukan setiap hari.
Rumah kardusku berukuran 3 x 3 M,di dalamnya hanya ada selembar kardus tempatku untuk membaringkan diri dan beberapa setel pakaian kumuhku yang berserakan.Tak ada barang lain selain itu,bahkan aku tak mempunyai perkakas untuk memasak setiap hari.
            Rumahku terletak di bawah sebuah jembatan layang di kota ini dan di kelilingi tumpukan–tumpukan sampah,tak ada sumber air bersih di sekitar rumahku,hanya sampah yang aku lihat setiap hari,bau menyengat sudah menjadi makananku sehari–hari.
            Tak ada yang menghiraukan keberadaanku di sini,di kota sebesar ini aku hanya hidup sendiri menjalani hidup.Dua tahun yang lalu aku masih mempunyai keluarga,hingga suatu hari ayahku meninggalkanku bersama ibuku yang sakit–sakitan,semenjak itu hidupku menjadi tambah menderita karena aku harus mengurus ibuku yang sedang sakit dan mencari makan untuk kita berdua,aku harus menjadi tulang punggung keluarga.
            Hingga suatu hari tubuh ibuku sangat panas dan batuk–batuk darah,aku sangat panik dan membopongnya sampai ke rumah sakit.sesampainya di sana ibuku mendapatkan pertolongan pertama di ruang UGD.Aku hanya bisa menunggu di luar dengan hati yang masih cemas,tiba–tiba keluar seorang Suster dan menyodorkan beberapa lembar kertas.
            “Dik,ibu kamu harus segera di operasi.“
            Aku begitu kaget mendengar perkataan suster itu.
            “Sus,tapi saya tak punya uang untuk operasi,kataku sangat berat.
            Suster itu hanya diam,dan kelihatan sangat sedih.
            “Tolong saya sus,bantu ibu saya,” kataku padanya.
            “Maaf dik,saya tidak bisa bantu apa–apa,“ katanya sambil memegang pundakku.
            Aku sangat terpukul dan dengan terpaksa aku membopong ibuku keluar dari rumah sakit itu.Aku tak bisa membendung air mataku yang mencoba keluar dari mataku.Hatiku masih tersayat–sayat oleh perkataan tadi.
            Hari demi hari semakin berlalu,dan sakit ibuku kini bertambah parah.Aku mencoba meminta pertolongan kepada siapapun,tapi apa!tak ada satupun orang yang membantuku.Aku di anggap sebagai sampah,bahkan ada yang sampai mengusirku dengan sangat kasar.
Tanggal 28 Oktober 2006 aku kehilangan ibuku,dan aku kini hidup sebatang kara di kota ini.Sejak saat itu aku sangat membenci rumah sakit dan negara ini.Aku membenci semua orang.
            Mengapa negara ini tak menghiraukan nasib kami rakyat kecil,mana hati nurani para dokter yang telah berikrar untuk menolong kami,mana janji–janji yang telah di ucapkan pemimpin–pemimpin negara ini untuk mengubah hidup kami menjadi lebih baik.Sampai saat ini kami masih sengsara dan kelaparan.
            Sejak saat itu aku mencari uang untuk makan sehari–hari,dari menjual suara,menjual muka telah aku jalani,tapi apa!akhir–akhirnya aku hanya bisa di tangkap oleh kantip.Apa salahku?aku hanya mencari makan untuk meneruskan hidupku,kenapa para koruptor yang merampas hidup rakyat bisa hidup bebas berkeliaran kemana–mana.
            Sebenarnya aku ingin berdagang,tapi aku tak punya modal sedikitpun,bahkan jadi pedagang asonganpun aku tak bisa.Aku tak ingin mencuri maupun mencopet,karena jika aku melakukan hal itu aku tak ubahnya seperti para koruptor-koruptor di Negara ini yang menjadikan hidup kami,rakyat–rakyat yang kurang mampu menjadi tambah menderita, kehilangan segalanya dan kehilangan masa depan.
            Suatu hari aku berjalan–jalan mengelilingi kota ini untuk mencari pekerjaan yang bisa aku lakukan,aku berjalan sangat lambat karena aku belum makan hampir empat hari,bahkan di perjalanan aku tak sesekali hampir terjatuh karena tak berdaya menahan tubuhku ini.Panasnya  aspal membakar telapak kakiku yang tak beralaskan apapun.Aku tak kuat berjalan lagi,tubuhku terasa sangat berat,dan tak sadarkan diri tubuhku jatuh kebelakang.Aku terkejut saat  seseorang menangkap tubuhku,aku tak mampu untuk membuka mata.Aku hanya bisa mendengar suaranya.
            “Kamu tak apa–apa?” suaranya lembut dan seperti suara laki–laki.
            Dia memberiku sebungkus makanan,kamudian aku di dudukkan di tepi sebuah jembatan dan dengan cepat aku melahap makanan itu,sampai–sampai dia tertawa melihat tingkahku.
            “Pelan–pelan saja,jangan terburu–buru,“ katanya sambil tertawa.
            Aku hanya bisa tersenyum kepadanya.
Setelah makan kami berbincang–bincang,ternyata nasib kami tak jauh berbeda,dia juga sebatang kara di kota ini dia di tinggal kedua orang tuanya 3 tahun yang lalu karena kelaparan.Sebagai  seorang lelaki aku mengetahui betapa besar penderitaan yang dia rasakan,tak jauh beda dengan penderitaanku saat ini,dia tak mempunyai tempat tinggal,dia tidur di depan jejeran toko yang sudah tutup.Aku memandangi seluruh tubuhnya,aku penasaran dengan plastik hitam yang ada di tangan kirinya.
            “Apa itu yang ada di tanganmu?“ kataku sambil menunjuk plastik tersebut.
            “Ini pekerjaanku,“ jawabnya sambil menunjukkan isi plastik itu.
            Aku kaget melihat isi plastik tersebut,di dalamnya hanya ada tembakau dan beberapa lembar kertas putih.Aku semakain penasaran,apa sebenarnya pekerjaannya?
            “Itu apa? kok hanya ada tembakau dan kertas?“ kataku dengan penasaran.
            “Ini rokok lintingan,“ katanya sangat pelan.
            “Bukannya ini illegal ya?“ kataku sambil memegang plastik itu.
            Dia hanya terdiam,dan tak merespon pertanyaaanku.Kita terdiam beberapa saat.Aku mencoba memecah keheningan ini.
            “Eh lupa!namamu siapa?“ kataku sambil tersenyum.
            “Namaku Riko!namamu siapa?“ jawabnya sambil tersenyum.
            “Aku Yono!ayo ikut aku,“ jawabku sambil pergi meninggalkannya.
            Aku ingin menunjukkan padanya tempat tinggalku dan aku mengajaknya tinggal di rumahku.Sejak hari itu kami tak merasa sendiri lagi,kami tak merasa kesepian lagi,kami saling melengkapi dan berbagi informasi.Dan dia menawarkan kepadaku suatu pekerjaan,dan tak salah lagi pekerjaan itu adalah menjual rokok lintingan.Aku menerima tawarannya karena aku tak mempunyai pekerjaan untuk menghidupiku.
Paginya kami pergi ke rumah om Toto untuk mengambil  tembakau,om Toto adalah yang member kami pekerjaan,karena kami di pinjami tembakau untuk dijual dan untungnya untuk kami makan.
Setiap hari kami harus berjalan berkilo–kilo untuk menjual tembakau tersebut.Satu hari kami hanya mendapat uang 10–15 ribu,itu hanya cukup untuk kami makan sehari–hari.
            Sering di perjalanan kami menjumpai anak–anak sekolah seusia kami,terkadang kami iri dan hanya bisa menangis dalam hati.Kami ingin menjadi seperti mereka,kami ingin bisa merasakan bagaimana rasanya sekolah.Tapi kami tak bisa berbuat banyak,yang ada di fikiran kami hanyalah menjual tembakau–tembakau ini dan makan.
            Meskipun kami anak–anak jalanantapi kami masih punya semangat belajar tinggi,kami masih mau belajar.Dengan buku–buku yang kami temukan di jalanan kami belajar.Di dalam rumahku terdapat tumpukan buku yang telah kami pelajari,bukan hanya berhitung yang kami kuasai kami juga sedikit menguasai bahasa.
Kami ingin pintar meskipun tak melalui bangku sekolahan.Kami terkadang berfikir jika suatu saat pekerjaan kami ini di tutup karena illegal,apa yang harus kami lakukan, bagaimana kami melanjutkan hidup kami,hanya dengan tembakau–tembakau inilah kami makan dan dengan tembakau–tembakau inilah kami hidup.
            Meskipun kami tak merasakan indahnya masa–masa sekolah,meskipun kami hanya penjual rokok ilegal yang hidup di bawah jembatan,dan kami dianggap orang–orang yang terbuang dan tak punya masa depan.Kami masih punya mimpi yang setiap malam kami lihat,dan kami masih punya cita–cita yang ingin kami capai.
            Mimpi kami setiap malam adalah ingin merasakan bagaimana menjadi seorang yang berpendidikan dan di hargai semua orang.Cita–cita kami adalah menjadi seorang presiden,karena kami ingin menghapus semua tindak korupsi,membasmi semua kemiskinan dan menyelamatkan anak–anak jalanan dan orang yang tak mampu seperti kami.
            Meski kami tahu itu semua sangat sulit terwujud,kami akan selalu berusaha dan tidak akan menyerah sampai kapanpun,karena kami ingin Negara ini berubah menjadi lebih baik.Kami ingin membangun masa depan untuk anak–anak seperti kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar